Semua guru profesional dituntut terampil mengajar tidak semata-mata hanya menyajikan materi ajar. Guru dituntut memiliki pendekatan mengajar sesuai dengan tujuan instruksional. Menguasai dan memahami materi yang akan diajarkan agar dengan cara demikian pembelajar akan benar-benar memahami apa yang akan diajarkan. Piaget dan Chomsky berbeda pendapat dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang anak-akalnya-sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus.
Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secar fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip.
Konsep CBSA yang dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah dan belum terpogram. Akan tetapi dengan CBSA para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan dikelas secara bersama-sama.
Dasar-Dasar Pemikiran Pendekatan CBSA
Usaha penerapan dan peningkatan CBSA dalam kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan usaha “proses pembangkitan kembali” atau proses pemantapan konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu dikaji alasan-alasan kebangkitan kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan alasan usaha peningkatan CBSA secara rasional adalah sebagai berikut:
1. Rasional atau dasar pemikiran dan alasan usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau kembali pada hakikat CBSA dan tujuan pendekatan itu sendiri. Dengan cara demikian pembelajar dapat diketahui potensi, tendensi dan terbentuknya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimilikinya. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa baik pembelajar. materi pelajaran, cara penyajian atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang. Jadi hampir semua komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan.
Perubahan ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah. Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan memotivasi pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya dengan CBSA salah satu kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan profesional, mampu memiliki strategi dengan pendekatan yang tepat.
2. Implikasi mental-intelektual-emosional yang semaksimal mungkin dalam kegiatan belajar mengajar akan mampu menimbulkan nilai yang berharga dan gairah belajar menjadi makin meningkat. Komunikasi dua arah (seperti halnya pada teori pusaran atau kumparan elektronik) menantang pembelajar berkomunikasi searah yang kurang bisa membantu meningkatkan konsentrasi. Sifat melit yang disebut juga ingin tahu (curionsity) pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan. Pengalaman belajar akan memberi kesempatan untuk rnelakukan proses belajar berikutnya dan akan menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi pelajaran.
3. Upaya memperbanyak arah komunikasi dan menerapkan banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif. Cara seperti itu juga akan memberi peluang memperoleh balikan untuk menilai efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud balikan tidak ditunggu sampai ujian akhir tetapi dapat diperoleh pembelajar dengan segera. Dengan demikian kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera diperbaiki. Jadi, CBSA memberi alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif, secara terus-menerus melalui tes akhir tatap muka, tes formatif dan tes sumatif.
4. Dilihat dari segi pemenuhan meningkatkan mutu pendidikan di LP’TK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka strategi dengan pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama. Dengan wawasan pendidikan sebagai proses belajar mengajar menggarisbawahi betapa pentingnya proses belajar mengajar yang tanggung jawabnya diserahkan sepenuhnya kepada pembelajar. Dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak, dan juga mencari pemecahan secara praktik.
Hakikat Pendekatan CBSA
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.
Hakekat dari CBSA adalah proses keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya:
o Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
o Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
o Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien.
Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.
Prinsip-Prinsip Pendekatan CBSA
Prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi subjek didik :
* Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direncanakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat.
* Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap demokratis.
* Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang oleh guru.
* Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
* Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.
b. Dimensi Guru
* Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
* Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
* Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
* Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara serta tingkat kemampuan masing-masing.
* Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c. Dimensi Program
* Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
* Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep maupun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
* Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
* Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
* Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.
5. Rambu-Rambu Pendekatan CBSA
Yang dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah perwujudan prinsip-prinsip CBSA yang dapat diukur dan rentangan yang paling rendah sampai pada rentangan yang paling tinggi, yang berguna untuk menentukan tingkat CBSA dan suatu proses belajar-mengajar. Rambu-rambu tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi. Rambu-rambu tersebut dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu proses belajar-mengajar memiliki kadar CBSA yang tinggi atau rendah. Jadi bukan menentukan ada atau tidak adanya kadar CBSA dalam proses belajar-mengajar. Bagaimanapun lemahnya seorang guru, namun kadar CBSA itu pasti ada, walaupun rendah.
a. Berdasarkan pengelompokan siswa
Strategi belajar-mengajar yang dipilih oleh guru harus disesuaikan dengan tujuan pengajaran serta materi tertentu. Ada materi yang sesuai untuk proses belajar secara individual, akan tetapi ada pula yang lebih tepat untuk proses belajar secara kelompok. Ditinjau dari segi waktu, keterampilan, alat atau media serta perhatian guru, pengajaran yang berorientasi pada kelompok kadang-kadang lebih efektif.
b. Berdasarkan kecepatan Masing-Masing siswa
Pada saat-saat tertentu siswa dapat diberi kebebasan untuk memilih materi pelajaran dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Strategi ini memungkinkan siswa untuk belajar lebih cepat bagi mereka yang mampu, sedangkan bagi mereka yang kurang, akan belajar sesuai dengan batas kemampuannya. Contoh untuk strategi belajar-mengajar berdasarkan kecepatan siswa adalah pengajaran modul.
c. Pengelompokan berdasarkan kemampuan
Pengelompokan yang homogin dan didasarkan pada kemampuan siswa. Bila pada pelaksanaan pengajaran untuk pencapaian tujuan tertentu, siswa harus dijadikan satu kelompok maka hal ini mudah dilaksanakan. Siswa akan mengembangkan potensinya secara optimal bila berada disekeliling teman yang hampir sama tingkat perkembangan intelektualnya.
d. Pengelompokkan berdasarkan persamaan minat
Pada suatu guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk berkelompok berdasarkan kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya terbentuk atas kesamaan minat dan berorientasi pada suatu tugas atau permasalahan yang akan dikerjakan.
e. Berdasarkan domein-domein tujuan
Strategi belajar-mengajar berdasarkan domein/kawasan/ranah tujuan, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
§ Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domein ialah:
1) Domein kognitif, yang menitik beratkan aspek cipta.
2) Domein afektif, aspek sikap.
3) Dornein psikomotor, untuk aspek gerak.
§ Gagne mengklasifikasi lima macam kemampuan ialah:
1) Keterampilan intelektual.
2) Strategi kognitif.
3) Informasi verbal.
4) Keterampilan motorik.
5) Sikap dan nilai.
CBSA dapat diterapkan dalam setiap proses belajar mengajar. Kadar CBSA dalam setiap proses belajar mengajar dipengaruhi oleh penggunaan strategi belajar mengajar yang diperoleh. Dalam mengkaji ke-CBSA-an dan kebermaknaan kegiatan belajar mengajar, Ausubel mengemukakan dua dimensi, yaitu kebermaknaan bahan serta proses belajar mengajar dan modus kegiatan belajar mengajar. Ausubel mengecam pendapat yang menganggap bahwa kegiatan belajar mengajar dengan modus ekspositorik, misalnya dalam bentuk ceramah mesti kurang bermakna bagi siwa dan sebaliknya kegiatan belajar mengajar dengan modus discovery dianggap selalu bermakna secara optimal. Menurutnya kedua dimensi yang dikemukakan adalah independen, sehingga mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus ekspositorik sangat bermakna dan sebaliknya mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus discovery tetapi tanpa sepenuhnya dimengerti oleh siswa. Yang penting adalah terjadinya asimilasi kognitif pengalaman belajar itu sendiri oleh siswa.
Pengayaan
Memang, kita tidak perlu memperdebatkan dengan UN – Ujian Nasional. Memang, Sejak awal 1950-an, pemerintah menjadi penyelenggara tunggal ujian akhir. Kebijakan ini terus berlangsung sampai awal 1970-an. "Revolusi" pendidikan kembali terjadi ketika pemerintah membebaskan sekolah menyelenggarakan ujian sendiri sejak 1972.
Sebenarnya, yang harus diperdebatkan adalah bagaimana kurikulum pendidikan nasional. Salah satu kurikulum yang pernah populer adalah program Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Metode CBSA merangsang anak berpikir mandiri, mampu menemukan persoalan, dan dibahas bersama. Harapannya agar siswa mampu memahami persoalan secara komprehensif. Namun, mereka yang terbiasa ber-CBSA terbentur UN. Di depan lembar soal, mereka cuma diminta memilih, bukan menganalisis masalah dan menemukan jawabannya. Dalam penerapan metode belajar aktif yang benar, siswa dan guru sama-sama aktifnya.
Kalau ditilik lebih dalam, sebenarnya metode belajar aktif atau sekarang lumrah disebut sebagai metode PAKEM (pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan) saat ini mulai dirasakan pentingnya dikalangan praktisi pendidik. Dikarenakan metode ini agaknya menjadi jawaban bagi suasana kelas yang kaku, membosankan, menakutkan, menjadi beban dan tidak membuat betah dan tidak menumbuhkan perasaan senang belajar bagi anak didik. Alih-alih membuat anak mau menjadi pembelajar sepanjang hayat yang terjadi malah kelas dan sekolah menjadi momok yang menakutkan bagi siswa.
Sebuah lelucon mengenai metode belajar aktif di sekolah dasar. “Metode belajar aktif yang terjadi adalah guru bermalas-malasan, sedangkan yang aktif justru muridnya. Murid diminta untuk mencatat, menyalin dan dibebani banyak sekali pekerjaan rumah. Dengan demikian ada kesalahan dalam menerjemahkan pendekatan pembelajaran. Tidak mungkin tercapai nuansa PAKEM apabila siswa dalam hal ini malah terbebani sedangkan guru juga tidak tentu arah dalam melaksanakan dan merencanakan pembelajaran dikelas.
Cara belajar siswa aktif adalah merupakan tantangan selanjutnya bagi para pendidik. Sebab ruh dari KTSP yang diberlakukan sekarang ini adalah pembelajaran aktif. Dalam pembelajaran aktif baik guru dan siswa sama-sama menjadi mengambil peran yang penting.
Guru sebagai pihak yang;
* merencanakan dan mendesain tahap skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam kelas.
* membuat strategi pembelajaran apa yang ingin dipakai (strategi yang umum dipakai adalah belajar dengan bekerja sama)
* membayangkan interaksi apa yang mungkin akan terjadi antara guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
* Mencari keunikan siswa, dalam hal ini berusaha mencari sisi cerdas dan modalitas belajar siswa dengan demikian sisi kuat dan sisi lemah siswa menjadi perhatian yang setara dan seimbang
* Menilai siswa dengan cara yang tranparan dan adil dan harus merupakan penilaian kinerja serta proses dalam bentuk kognitif, afektif, dan skill (biasa disebut psikomotorik)
* Melakukan macam-macam penilaian misalnya tes tertulis, performa (penampilan saat presentasi, debat dll) dan penugasan atau proyek
* Membuat portfolio pekerjaan siswa.
Siswa menjadi pihak yang;
* menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir
* melakukan riset sederhana
* mempelajari ide-ide serta konsep-konsep baru dan menantang.
* memecahkan masalah (problem solving),
* belajar mengatur waktu dengan baik,
* melakukan kegiatan pembelajaran secara sendiri atau berkelompok (belajar menerima pendapat orang lain, siswa belajar menjadi team player)
* mengaplikasikan hasil pembelajaran lewat tindakan atau action.
* Melakukan interaksi sosial (melakukan wawancara, survey, terjun ke lapangan, mendengarkan guest speaker)
* Banyak kegiatan yang dilakukan dengan berkelompok.
Belajar dari Renald Kasali
Ada artikel yang menarik yang masih berkaitan dengan CBSA, yaitu PCL yang ditulis Rhenald Kasali di harian Seputar Indonesia. Begini kutipan lebih lengkap;
Banyak hal telah berubah, namun kita tetap saja melakukan hal yang sama berulang-ulang. Itulah yang terjadi dengan kita dalam berbagai hal, mulai dari membuat kopi, mengambil jalan menuju tempat bekerja, menulis surat, memimpin rapat, memimpin kantor, melakukan presentasi, sampai mengajar (untuk para guru dan dosen). Kita mengulangi segalanya dalam bentuk kebiasaan (habit) dan ketika harus diubah, rasanya sulit sekali.
Rasa sulit itu sama seperti seseorang yang merubah letak jam tangannya dari tangan kiri ke tangan kakan atau sebaliknya. Hal seperti itulah yang juga dialami oleh para guru dan dosen dalam mengajar. Semua orang di sini terbiasa mengajar dengan cara “menyuapi” anak didiknya. Dalam bahasa ilmiah cara itu kita sebut lecturing atau “memberi kuliah”. Murid mendengarkan, guru berbicara.
Murid Tak Mendengarkan
Tak seorang pun menyadari bahwa cara-cara lama itu sudah tidak efektif lagi. Di berbagai sekolah dan universitas murid-murid cenderung tidak mendengarkan gurunya. Mereka semakin asyik dengan diri mereka masing-masing. Kalaupun guru atau dosennya galak, mereka hanya bisa diam sebentar karena takut. Mereka mencatat namun pikiran mereka ada di tempat lain. Ada di handphone, internet, black berry, facebook, video game, musik, taman, dsb.
Dalam berbagai kesempatan kita juga pernah menyaksikan pidato-pidato para pejabat dan presiden yang ditinggal ditur oleh audience. Bukannya apa-apa, mendengar itu memang meletihkan. Apalagi kalau yang berbicara hanya membaca, memberi pesan yang kurang menarik, nada suaranya datar, wajahnya terlalu serius, dan tak menjalin interaksi. Rasanya ingin sekali kita cepat-cepat meninggalkan ruangan, menuju taman di depan, berbicara dan tertawa dengan teman-teman.
Inilah sebuah zaman yang kita sebut dengan era partisipatif. Di era ini, semua orang ingin berpartisipasi dan terlibat. Ingin berbicara apa saja, yang penting bisa ikutan. Celakanya sedikit sekali guru dan pemimpin yang mau memperhatikan hal ini dan merubah cara penyampaian mereka.
Sekitar 7 tahun yang silam, bersama-sama dengan teman-teman yang baru kembali dari Harvard, saya memperkenalkan metode baru dalam pengajaran yang kelak berdampak luas dalam teknik presentasi. Metode itu kita sebut dengan PCL (Participant Centered Learning). Pusat pembelajaran atau peresentasi itu ada si kelapa para partisipan, audience, bukan di tangana presenter, pemimpin, guru atau dosen.
Belakangan ini kampus-kampus mulai memperkenalkan metode SCL atau Student Centered Learning dan PBL atau Problem-Based Learning. Setelah saya pelajari, ternyata maksud dan tujuan kedua metode itu sebenarnya sama saja dengan PCL, yaitu mendorong keterlibatan audience. Hanya bedanya di level pendidikan yang lebih tinggi, audience tidak ingin diperlakukan sebagai student. Mereka ingin diperlakukan sebagai subjek, yaitu partisipan.
Monalisa Smile
Anda mungkin masih ingat dengan film Monalisa Smile yang dibintangi oleh Julia Roberts. Film ini selalu saya pakai dalam membantu memahami metode PCL. Dalam film itu diceritakan tentang seorang guru yang habis dikerjai murid-muridnya yang pintar dan aktif.
Saat pertama melakukan presentasi, Julia Roberts mengalami kegagalan. Semua slides yang ia presentasikan diambil dari buku dan celakanya semua audience-nya sudah membaca isi buku itu. Setiap slide baru dipresentasikan, murid-muridnya angkat tangan dan mempu menerangkan isinya sebelum sang guru menyelesaikan penjelasannya. Julia Roberts benar-benar mati akal, gugup dan menjadi terlihat bodoh.
Bagian film itu selalu kami diskusikan dan saya katakan pada para mahasiswa, seperti itulah audience yang saya inginkan. Semua harus sudah membaca dan siap. Sebab, seperti yang pernah dikatakan Plato, guru hanya akan datang kalau murid-muridnya siap.
Tapi benarkah mereka membaca sebelum masuk kelas? Bisakah kita memaksa mreka? Anda benar! Tradisi kita memang bukan tradisi membaca, sudah begitu, kalau ada satu audience yang kelihatan tahu dan membaca, maka ia selalu menjadi sasaran olok-olok teman-temannya. Mengapa begitu? Karena sebagian besar orang tidak membaca. Jadi mereka tidak ingin kelihatan bodoh, hanya karena ada temannya yang jalan lebih cepat.
Namun demikian, hal ini ternyata bukan hanya merupakan kesalahan audience (murid). Kesalahan terbesar justru ada di tangan presenter atau guru/dosen. Mengapa harus membaca kalau semua ini akan diceritakan secara penuh oleh guru atau dosennya? Bahkan, Bapak/ Ibu guru sudah memilihkan bagian-bagian yang penting-penting dari isi buku. Toh ujian tertulisnya semua bersumber dari catatan kuliah/kelas, bukan dari buku.
Kenyataan ini berbeda benar dengan yang dilakukan di negara-negara barat. Di sana, seorang guru atau dosen bukanlah seorang ‘tukang cekok’ yang memaksakan obat ke mulut anak didiknya. Tugas pendidik adalah membuat anak-anak didiknya senang belajar, gemar membaca dan berpikir kritis. Jadi di kelas, seorang guru tidak lagi memaparkan isi buku melainkan membentuk pikiran dan menjaga antusiasme audiencenya. Akibatnya, anak-anak didiknya mampu berpikir kritis, terbebas dari belenggu-belenggu dogmatis dan mampu berpikir “out of the box”.
Dunia Partisipatif
Dalam bagian lain dari film Monalisa Smile yang juga saya gunakan, Julia Roberts telah mengubah cara menyampaikan materi. Kali ini ia yang pegang kendali. Sadar yang dididik siswa-siswa pandai, maka ia menyodorkan bahan-bahan kehidupan. Slides presentasinya itu tidak ada di silabus atau di buku. Semua audience tercengang dan berkata, “Apa itu?” Ia menjawab, “Kalian yang terangkan pada saya, apa itu?”
Audience mulai binggung karena selama ini terbiasa berpikir buku teks. Mereka semua ribut, beda pendapat, mencari standar. Itulah saatnya seorang guru membentuk murid-muridnya.
Bagian film kedua ini saya tujukan kepara para pemimpin, guru, dosen, dan calon-calon presenter. Saya selalu mengatakan inilah guru dan pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini. Guru yang membebaskan anak-anak didiknya dari belenggu-belenggu, dan guru yang menumbuhkan antusiasme.
Dalam berbagai kesempatan, tampak jelas, masalah terbesar pendidikan bangsa ini bukan berada di tangan para anak didik, rakyat, atau umat yang malas membaca, melainkan ada di tangan para pemimpin, guru-guru, dan para elit yang terlalu asyik dengan pikiran-pikirannya sendiri dan terbiasa mencekoki anak kecil. Mereka lupa bahwa rakyatnya dan anak-anak didiknya telah berubah. Inilah zaman partisipatif, zaman dimana semua orang sudah terkait satu dengan yang lain, yang menuntut antusiasme, kesetaraan dan tentu saja pemimpin yang mau mendengarkan. Itulah esensi dari PCL yanartinya Participant Centered Learning.
Kamis, 22 Juli 2010
CBSA
Diposting oleh Hidden Leaf di 02.39
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar